Jakarta, (Orbpaper) - Nama Yahya Sinwar kembali menjadi sorotan dunia setelah perannya diidentifikasi sebagai salah satu arsitek utama Operasi “Banjir Al-Aqsa”, serangan besar yang mengubah keseimbangan konflik antara Hamas dan Israel pada 7 Oktober 2023 dua tahun lalu. Yahya Sinwar dikenal sebagai sosok dengan disiplin tinggi, penuh perhitungan, dan jarang tampil di hadapan publik. Namun di balik layar, ia memainkan peran strategis yang sangat besar. Sejak bertahun-tahun sebelum operasi dimulai, Sinwar telah membangun sistem militer dan keamanan terintegrasi di Jalur Gaza menggabungkan struktur organisasi yang rapi, kemandirian dalam produksi senjata, serta jaringan komunikasi bawah tanah yang sulit ditembus.
Bagi banyak pejuang di Brigade Izzuddin Al-Qassam, Sinwar bukan sekadar pemimpin politik, melainkan “insinyur kesabaran panjang” seseorang yang menolak konfrontasi kecil dan memilih waktu yang tepat untuk menyerang setelah persiapan matang selama bertahun-tahun. Bagi Sinwar, perjuangan Palestina tidak bisa diselesaikan lewat kompromi politik atau gencatan senjata jangka pendek. Ia percaya bahwa satu-satunya cara mengembalikan perhatian dunia terhadap Palestina adalah melalui langkah strategis yang mengguncang status quo. Operasi “Banjir Al-Aqsa” menjadi wujud nyata dari filosofi tersebut: serangan yang terkoordinasi dengan ketepatan tinggi, dilakukan secara simultan melalui darat, udara, dan laut, yang mengejutkan militer Israel dan dunia internasional.
Serangan itu membuka babak baru konflik modern di Timur Tengah mengungkap kelemahan sistem intelijen dan keamanan Israel yang selama ini dianggap tak tertembus. Di mata banyak warga Gaza, Yahya Sinwar adalah simbol keteguhan dan perlawanan, seorang pemimpin yang tidak hanya memerintah dari balik meja, tetapi juga pernah merasakan penjara, penyiksaan, dan pengasingan. Namun di sisi lain, Tel Aviv menyebutnya “otak paling berbahaya di Timur Tengah” sosok yang dianggap mampu membingungkan institusi keamanan Israel, mematahkan keunggulan teknologi, dan menggerakkan strategi perang yang mengubah paradigma pertahanan mereka.
Lahir di Khan Younis, Gaza selatan, Sinwar tumbuh di tengah pendudukan dan kekerasan yang membentuk wataknya. Ia mendirikan unit keamanan internal Hamas pada 1980-an dan sempat ditahan Israel selama lebih dari dua dekade sebelum dibebaskan dalam pertukaran tahanan tahun 2011. Setelah kembali ke Gaza, ia memperkuat koordinasi antara sayap politik dan militer Hamas, memastikan bahwa setiap langkah di medan tempur sejalan dengan tujuan politik jangka panjang. Kini, setelah dikabarkan syahid dalam serangan udara Israel, nama Yahya Sinwar telah melampaui batas militer semata menjadi simbol perlawanan dan kesabaran panjang rakyat Palestina. Warisan strateginya terus hidup di tengah reruntuhan Gaza: keyakinan bahwa perjuangan tidak hanya tentang senjata, melainkan tentang keteguhan visi dan keberanian untuk mengubah arah sejarah.